Running Posted

Rabu, 03 Agustus 2011

Syarikat Islam


Seratus tahun Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan kelahiran Budi Utomo, 20 Mei 1908, telah diperingati secara meriah. Bahkan, sampai kini masih ditandai dengan gerak jalan estafet, membawa obor secara beranting, dari Sabang sampai Merauke.

Sebenarnya, tiga tahun sebelum lahirnya Budi Utomo telah berdiri Syarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 di kota Solo. Beberapa tahun kemudian untuk menonjolkan Islam, kata ‘dagang’ dihilangkan.

Pada 103 tahun lalu, dentuman meriam Jepang yang bertalu-talu dalam pertempuran dengan Angkatan Laut Rusia di Selat Thusima menyebabkan AL Rusia bertekuk lutut kepada Jepang di Port Arthur pada tahun 1905. Kemenangan Jepang atas Rusia itu telah membnangkitkan semangat dan harga diri bangsa-bangsa Timur bahwa mereka juga mampu melawan penjajahan (Barat) dan mengusir mereka dari bumi Timur.

Peristiwa itu dijadikan momentum oleh seorang pemuda Lawean, Solo, asal Klaten, untuk mencetuskan ide yang selama ini tersimpan dalam jiwanya: menyusun kekuatan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.


Pemuda itu kemudian dikenal sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan: Haji Samanhudi. “Dialah hero yang sebenarnya bagi pergerakan Indonesia,” tulis mantan tokoh Masyumi 1950-an, KH. Firdaus AN dalam buku Dosa-dosa Politik Orla dan Orba.

Setelah HOS. Tjokroaminoto duduk dalam pimpinan Syarikat Islam (SI), kemajuan SI makin hebat dengan semangat berkobar-kobar sehingga SI dipandang sebagai ‘Ratu Adil’.

Kemajuan SI yang pesat saat itu membuat penasehat pemerintah kolonial, Snouck Hurgronye, menulis dalam majalah Indologen Blad, meminta pemerintah mewaspadai kebangkitan gerakan Islam ini dan jangan sampai lengah.

Pada mulanya Belanda menolak kehadiran SI, tetapi kemudian mengakuinya juga sebagai badan hukum pada 10 September 1912. Namun, oleh kaum SI tanggal 16 Oktober 1905 dipandang sebagai kelahiran SI yang sejati. Tanggal inilah yang diperingati kaum SI setiap tahun.

Setelah menjadi badan hukum, SI bertambah maju, melompat-lompat ke depan menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Tjokroaminoto yang digalari ‘raja tanpa mahkota’. Kaum reaksioner Belanda menjadi saling menyalahkan satu sama lain. Mereka menyalahkan Gubernur Jenderal Indenburg yang mengakui SI secara resmi dalam politik dan mereka memelesetkan SI sebagai Salahnya Indenburg.

Berlainan dengan SI yang sejak 1912 telah menuntut kemerdekaan Indonesia, Budi Utomo (BU), menurut KH Firdaus AN, merupakan perkumpulan kaum ambtenaar, yaitu para pegawai negeri yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda.

Pertama kali BU diketuai Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, yang dipercaya Belanda. Ia memimpin Budi Utomo sejak 1908 sampai 1911. Kemudian dia digantikan oleh Pangeran Arjo Noto Dirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta.

Dengan dipimpin oleh kaum bangsawan yang inggih selalu, tidak mungkin BU akan dapat melangkah maju untuk mengadakan aksi massa, berjuang guna mengubah nasib mereka yang menderita di bawah telapak kaki penjajah Belanda.

Dengan sifat kebangsawanan yang pasif dan setia kepada Belanda itu, juga membuat BU terjauh dari rakyat. Menurut Firdaus AN, BU bukan bersifat kebangsaan yang umum bagi seluruh Indonesia, tetapi bersifat regional, kedaerahan dan kesukuan yang sempit. Keanggotaannya selalu terbatas bagi kaum ningrat aristokrat, dan hanya terbatas bagi suku Jawa dan Madura.

SI yang dilahirkan di Solo tahun 1905 dengan sifat Nasional dan dasar Islam yang tangguh, yang merupakan organisasi Islam terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air.

Dengan sifat nasionalnya SI meliputi seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Ini tercermin pada wajah para tokoh pemimpin SI dari berbagai kepulauan di Indonesia.

Di bawah pimpinan trio politikus yang terkenal — Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis – SI menjadi organisasi massa pertama yang bukan hanya menuntut tapi memperjuangkan kemerdekaan RI. Kemudian menyusul berdirinya Muhammadiyah pada 1912 yang diketuai oleh KH Ahmad Dahlan yang berjuang di lapangan sosial dan pendidikan demi kecerdasan umat.

Muncul pula Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di bawah pimpinan KH. Zamzam dan kemudian diperkuat oleh A. Hassan. Persis bergerak dalam pelurusan akidah. Lahir pula NU pada tahun 1926 yang dimotori oleh para ulama di bawah pimpinan KH. Hasyim Ashari.

Muncul pula PERTI di Bukittinggi pada 20 Mei 1930 yang juga dipelopori oleh para ulama bermazhab Syafi’i. Bangkit pula Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang bergerak di bidang politik pada 1930 yang bersikap non-kooperator dengan Belanda.

Setelah lahir berbagai organiasi Islam lainnya yang terus melakukan perlawanan terhadap penjajah, pada 1937 lahirlah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian menjadi Masyumi.

Begitu besar jasa SI dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, menurut KH Firdaus AN, sungguh aneh dan ajaib, bukan SI yang menjadi patokan hari Kebangkitan Nasional, tetapi Budi Utomo yang sama sekali tidak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pengurusnya tidak pernah masuk penjara dan tidak dibuang ke Digul. ”Apakah ini bukan manipulasi sejarah,” tulis KH Firdaus AN.

(Alwi Shahab)
sumber : Republika, Ahad 13 Jul i 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar!