Running Posted

Rabu, 24 Agustus 2011

Ketentuan Pidana Zakat di Aceh



Oleh: Sayed Muhammad Husen

ZAKAT dan pengelolaannya di Aceh, selain merupakan ketentuan syariat Islam, telah pula menjadi hukum positif. Sebab zakat dan pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. Zakat sebagai hukum positif mengikat muzakki (wajib zakat) dan mengatur amil sebagai pemegang otoritas manajemen zakat.

UUPA pasal 191 memberi kewenangan pengelolaan zakat kepada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota dalam provinsi Aceh, yang selanjutnya diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 192 UUPA menjadi landasan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan dan pasal 180 menetapkan zakat sebagai salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena itu, zakat di Aceh dikelola oleh negara (pemerintah). Tak diberi ruang lagi pihak swasta menjadi amil zakat.

Pasal 21 ayat (1) Qanun 10/2007 menetapkan, “Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat.” Qanun juga telah menetapkan wilayah kerja masing-masing tingkatan Baitu Mal: Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kab/Kota, Baitul Mal Kemukiman (pemerintahan setingkat di bawah kecamatan) dan Baitul Mal Gampong/Desa.

Sementara jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakat, disebutkan dalam Pasal 18 Qanun 10/2007, yaitu: zakat emas, perak, logam mulia lainnya dan uang; zakat perdagangan dan perusahaan; zakat perindustrian; zakat pertanian, zakat perkebunan dan perikanan; zakat peternakan; zakat pertambangan; zakat pendapatan dan jasa; dan zakat rikaz.


Ketentuan pidana

Lebih lanjut, terhadap pelanggar zakat di Aceh, dikenakan pidana seperti diatur dalam pasal 50, bahwa setiap muzakki (orang Islam atau badan) yang tidak melaksanakan kewajibannya, dihukum karena melakukan jarimah ta’zir (hukuman denda) dengan ‘uqubat (pidana), berupa denda paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali nilai zakat yang wajib dibayarkan. Bagi perusahaan yang memerlukan audit khusus oleh Baitul Mal, wajib membayar seluruh biaya yang diperlukan.

Qanun 10/2007 juga menetapkan pidana bagi yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat, yaitu dihukum dengan uqubat ta’zir berupa denda paling banyak Rp 3 juta, paling sedikit Rp 1 juta atau hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau paling sedikit satu bulan.

Kemudian, siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya, yang seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada Baitul Mal, dihukum berupa cambuk di depan umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit satu kali, paling banyak dua kali dari nilai zakat, waqaf dan harta agama yang digelapkan.

Amil (petugas Baitul Mal) yang mengelola zakat fitrah dan zakat mal pada Baitu Mal Gampong dan nazir waqaf, yang melakuklan penyelewengan pengelolaan zakat dan harta agama dihukum uqubat ta’zir berupa denda Rp 1 juta, paling banyak Rp 3 juta atau hukuman kurungan paling singkat dua bulan atau paling lama enam bulan dan membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta gama yang diselewengkan.

Sementara jika pelanggaran atau penyelewengan dilakukan oleh badan (perusahaan, PT, CV dan koperasi dan yayasan sebagai wajib zakat) ‘uqubatnya dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut, sesuai dengan tanggungjawabnya.

Qanun 10/2007 pasal 45-49 telah pula mengatur tentang mekanisme penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran zakat dan pengelolaannya di Aceh, sehingga Baitul Mal dapat melaporkan kepada polisi muzakki yang ingkar zakat dan amil yang melakukan penyimpangan zakat dan harta agama. Selanjutnya diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.

Demikian ketentuan pidana Islam tentang zakat dan pengelolaannya di Aceh, yang telah diatur dalam Qanun 10/2007, sebagai implementsai syariat Islam kaffah. Ketentuan pidana ini lebih maju dibandingkan pengaturan dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang hanya memberi sanksi kepada amil yang melakukan penyimpangan.

Semoga dengan ketentuan pidana ini kesadaran muzakki akan terus meningkat dan amil pun lebih amanah dan profesional. Zakat semakin dirasakan manfaatnya dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan pembebasan sosial di negeri ini.

Penulis, Kabid Fundising Baitul Mal Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar!