Running Posted

Selasa, 19 April 2011

UN, oh UN .. !!!


UN kini menjelma menjadi sosok yang menakutkan di tiap sekolah, pelaksanaan UN tetap merupakan sebagai bahan evaluasi dan pengontrol bagi pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Untuk itu, ukuran kualitas, akseptabilitas, dan kredibilitas sangat diperlukan, karena ukuran hasil UN akan ditelaah lagi melalui evaluasi untuk mengetahui dan memahami pemetaan pendidikan di Indonesia, guna meningkatkan kualitas sekolah dan para siswa. Ini, sepenggal cerita anak sekolah yang mengisahkan bagaimana sejumlah sekolah yang berusaha untuk membantu meluluskan dan mendongkrak nilai UN dengan cara-cara yang tidak sepatutnya. Barangkali, inilah implikasi dari semenjak diberlakukannya passing grade kelulusan UN oleh Pemerintah melalui Kemendiknas, yang melahirkan kecurangan-kecurangan dan sekaligus melunturkan idealisme seorang guru. Mudah-mudahan sepenggal cerita ini, yang mungkin mewakili dari sejumlah sekolah di berbagai daerah yang berusaha meluluskan anak didiknya dengan cara tidak yang sehat, dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk mengkaji ulang tentang passing grade kelulusan UN yang bbarangkali dikarenakan ketidaksiapan sebagian sekolah untuk menerima kebijakkan ini karena berbagai faktor, satu diantaranya faktor kualitas dan kuantitas sarana prasarana yang belum merata serta berbagai faktor lain.
Kutipan berita hari ini: Guru Bongkar Kecurangan UN
Kalibata, Warta Kota
"Sejumlah guru bersama praktisi pendidikan dari berbagai daerah mendatangi kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), Selasa (27/6). Mereka mengungkapkan berbagai kecurangan ujian nasional (UN).
Para guru juga mengemukakan kecurangan di banyak sekolah akibat standar kelulusan yang ditargetkan pemerintah. Menurut mereka, kecurangan dilakukan banyak sekolah demi tercapainya tingkat kelulusan yang tinggi untuk mengangkat prestasi sekolah dan daerah. Di Garut (Jawa Barat) dan Cilegon (Banten), misalnya, kecurangan muncul berupa tindakan guru yang memberikan hasil jawaban melalui pesan pendek (SMS) dan menjadi joki. Kecurangan seperti ini bahkan terjadi sejak dua tahun lalu dan sudah jadi rahasia umum."

Ini sepenggal cerita dari lulusan anak sekolah, dulu ketika menjalani UN. Yeah... kecurangan seperti ini sudah jadi rahasia umum, bahkan aku mengalami sendiri saat masih duduk di kelas 6 SD, sekitar 13 tahun lalu.

Masih terngiang di kepalaku, aku kecil mendapat 'nasihat' dari kepala sekolah, "Jadi, nanti pas ujian jangan pelit-pelit ya sama yang lain!"

"????" jawabku

"Nanti kalau pengawas ujiannya kasih kamu kunci jawaban, terima saja," lanjut sang kepala sekolah.

"Lho, kok begitu bu?" protesku.

Wajah kepala sekolah mendadak tak bersahabat di hadapanku. Sepertinya dia kecewa atas sikap murid yang juara kelas. Di akhir pembicaraan, kepala sekolah berusaha meyakinkanku agar aku membagi 'kepintaranku' saat EBTANAS (waktu itu namanya belum UN. Red).

Benar saja, saat waktu ujian tiba, teman-teman yang duduk tak jauh dariku sibuk bertanya jawaban padaku. Aku pura-pura gak dengar. "Menyontek kan perbuatan curang," pikirku.

Yang paling membuatku terbelalak, para pengawas ujian diam-diam memberikan jawaban kepada murid-murid, termasuk aku. Sedikit tergoda juga waktu itu untuk melirik kunci jawaban. Namun aku bersikeras pada pendirianku, "AKU TIDAK AKAN MENYONTEK!"

Nah... apa yang terjadi kemudian saudara-saudara? Aku gagal meraih NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi di sekolah. NEM-ku peringkat kedua di sekolah. Ajaib, temanku yang tidak pernah menonjol dalam pelajaran, tiba-tiba menjadi 'bintang' dengan NEM tertinggi. Namun aku tidak pernah menyesal. Aku masih merasa menang dari sang 'bintang', karena aku mengerjakan ujian dengan jujur.

Tapi yang membuatku terenyuh, salah satu sahabatku yang sama-sama idealis--Sari, aku bangga padamu--gagal masuk sekolah favorit gara-gara NEM yang rendah. Yeah... NEM-nya rendah karena dia tak mau sedikitpun menyontek, meski sang pengawas ujian telah memberinya kunci jawaban.

Masyaallah... akan seperti apakah potret dunia pendidikan kita di masa depan, jika institusi pencetak generasi (yang harusnya) unggul justru mencoreng dirinya sendiri???

Itulah sepenggal cerita dari alumnus siswa salah satu sekolah, yang berusaha untuk tetap jujur dan confiden dengan apa yang telah diusahakannya, tapi kecewa dengan realita praktek-praktek ketidakjujuran dan kecurangan yang terjadi didepan matanya.
Tulisan ini, bukanlah untuk menghakimi siapapun, akan tetapi harapannya mudah-mudahan kebijakan ini bisa dikaji ulang, sehingga hasil penyelenggaraan UN yang menghabiskan dana besar ini, bisa berlangsung secara murni dan representatif dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa yang melaksanakan UN tersebut. Semoga !!!.

Sumber: http://mbakje.multiply.com

2 komentar:

  1. ya, begitulah pak. Dina berita oge nuju hot hot na. Kumaha pak di SMA 1 SUKADANA? Teu aya nu pingsan?di sakola sanes mh aya.

    BalasHapus
  2. @Cucu: Alhamdulillah, di SMA Sukadana aman" saja, ky'nya happy" aja anak", tinggal ngantos pengumuma'na, mdh"an lulus semuanya, Amiin !

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungannya, silahkan tinggalkan komentar!